August 31, 2019

Moving on.


Hey, everyone, whoever might read this. As you may have noticed, I haven’t make any new posts on this blog since a few months back. I’ve been thinking about moving to Wordpress, but have some trouble trying to export the whole thing, as I have mentioned on this post. I’ve always wanted to make a new post and write about something, anything, but there’s always work and stuffs to do. And when I have free time, I think of the time I’d spend posting the photos and just trying to make the post looks right before I publish it here. I don’t enjoy spending that much time because it’s a lot. So I chose not to.

Anyway, I asked one of my cousins who is a web developer about web hosting and domain. And he generously offered to help me build a new blog. So, from now on, you can find me on my new blog, The January Blues.

This blog is like my personal photo journal which has accompanied me through my teenage rage to young adult phase, to my current adult-ish age. Maybe one day I’ll put it on private, but for now I’ll keep it here. I’m still trying to make the new blog look like I wanted and so far have not post anything. So please bear with me and follow along if you’d like.

Goodbye for now, my sweet blogspot blog and friends.

January 17, 2019

Review Asal: ‘How to Train Your Dragon 3: The Hidden World’

https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEijLrDlyzJHqWL-8Vm0nJQ_DOco7cvTfvm73MXAUdXJy7FT5z_dseh8ltjbw2pK3rF_RDo7VWqgd_rTdNYPvIwsyxOC4ys6Lj26x9cmn9xcszXlbMy5vTSNJh8ttgXJd9DwBaF5ak1jG9I/s640/23495_26_dachenzaehmen_3_detail_de.jpg


Akhirnya sekuel yang ditunggu-tunggu ini rilis juga yah. Walaupun nungguin sejak lama, saya makin was-was semakin mendekati tanggal rilisnya. Apalagi setelah liat trailer resminya. Tapiii... saya senang mereka memutuskan untuk menuntaskan kisah Hiccup dan Toothless dalam trilogi, bukannya terus cari untung dengan terus bikin semakin banyak film dan mengorbankan cerita serta karakternya.


Udah tayang sejak 9 Januari, saya dan Lily nonton di weekend, tanggal 12. Asli, ini baru aja mau ngajak dia nonton karena kita emang suka filmnya, eh keduluan.
Mure banget, langsung deal, kagak pake nawar. 😂


Walaupun lupa bawa tisu dan telat dikit (seperti biasa), kami menikmati film di studio yang hampir penuh. Banyak juga yang bawa anaknya, tapi senggaknya nggak ada yang nangis kenceng atau merengek waktu film diputar.



🚨 I’LL TRY NOT TO SPOIL EVERYTHING, BUT STILL... SPOILER ALERT 🚨



How to Train Your Dragon 3: The Hidden World memperkenalkan kita ke musuh baru Hiccup dan rakyatnya, Grimmel. Karakter antagonis yang menarik ini percaya dia sudah memusnahkan semua Night Furry. Grimmel memanfaatkan otak cemerlangnya untuk menjadikan naga sebagai tunggangan dan senjata. Gile sih, naga-naga miliknya beneran mengerikan! Grimmel pikir udah berhasil memusnahkan semua Night Furry, sampai akhirnya dia mendengar bahwa kepala suku muda dari Berk punya seekor Night Furry.


Yep, this one.

Mereka pun memanfaatkan seekor naga betina yang akhirnya disebut Light Furry. Toothless langsung jatuh cinta begitu melihat si betina. Emang cantik banget sih. Kulitnya kayak ada glitter-nya dan dia punya kemampuan kamuflase. Layaknya manusia yang lagi jatuh cinta, Toothless cuma kepikiran sama cewek itu. Dan dia jadi sebel sama keadaannya, di mana sirip ekornya nggak sempurna, sehingga dia nggak bisa terbang tanpa Hiccup.


Dari sini saya udah terenyuh, pemirsa. Hiccup tentunya nggak tega lihat Toothless yang uring-uringan dan langsung bikin sirip baru untuk Toothless. Tadinya Toothless nggak mau terbang tanpa Hiccup, tapi yah namanya juga lagi dimabuk asmara, begitu siripnya dipasang, dia pamitan sebentar sama Hiccup, dan langsung pergi. Oh iya, mereka juga udah pindah dari Berk karena ancaman dari Grimmel. Warga Berk rencananya akan mencari ‘Hidden World’, seperti yang dikisahkan Stoick, ayah Hiccup, dan tinggal aman di sana bersama naga mereka. Sayangnya, pergerakan mereka udah diperkirakan oleh Grimmel dan sebentar lagi, pasukannya pasti tiba di tempat baru mereka ini. Hiccup, yang entah emang naif atau denial, mikir kalau “Ah, bentar lagi juga Toothless pulang.” Dia pun disadarkan oleh Astrid kalau yang dia lakukan sebelumnya, memberikan sirip baru untuk Toothless sama aja seperti memberi Toothless kebebasan.

Berusaha menghibur Hiccup, Astrid mengajaknya terbang dan mereka menemukan Hidden World, nun jauh di ujung utara dunia. It was magical. Baru masuk, kita disuguhkan visual yang menakjubkan dari berbagai makhluk dengan pendar bioluminescence yang bikin mereka tampak warna-warni cerah. Makin jauh ke dalam, Hiccup dan Astrid pun melihat sendiri Toothless diakui sebagai Alpha oleh semuaaa naga yang ada di Hidden World. Dengan Light Furry di sampingnya, mereka cocok banget jadi raja dan ratu. :’)

Oke, di sini makin hancur perasaan saya. Toothless benar-benar pantas mendapatkan kebahagiannya sendiri. Tapi bagaimana dengan Hiccup dan warga Berk yang sedang membutuhkan bantuannya juga? Well, well... Harus nonton sendiri deh keseruannya. Posisi Toothless sebagai Alpha memberikan keuntungan dan kerugian tersendiri. Berkat pacarnya, Toothless juga belajar trik baru! Cieee... Yang pasti, dengan atau tanpa naga mereka, warga Berk harus bersatu dan bertahan dari segala ancaman yang ada.

Berhubung di US film ini baru tayang bulan Februari nanti, belum banyak review yang bisa saya jadikan referensi dan saya masih belum paham sekuat apa Night Furry (dan Light Furry). Bener-bener lebih kuat dari naga yang lebih besar sekalipun kah? Soalnya begitu dibius, mereka bisa pulih dalam waktu singkat. Pertanyaan soal naganya Grimmel udah terjawab dari Wikia. Jadi, saya pikir naganya itu udah dimodifikasi sama Grimmel. Ternyata, emang bentuk aslinya begitu sih. Naga ini jenisnya Deathgripper dan emang punya gading yang bisa ditarik mundur lagi ke rahang mereka. Mereka juga punya ekor mirip kalajengking dan bisa memuntahkan acid blast ke target. Tapi mereka nggak kebal dengan venom mereka sendiri dan ini dimanfaatkan Grimmel untuk bikin para Deathgripper patuh sama dia.

Btw, nyadar nggak kalau Hiccup dan teman-temannya udah kayak Power Rangers waktu mereka nyerang tempatnya Grimmel? Hahaha.
from DreamWorks Animations Twitter

Dan berhubung masih termasuk film anak-anak, saya ngerasa perjalanan mereka menemukan Hidden World terlalu mudah. Begitu pun kekalahannya Grimmel. Tapi adegan berantemnya tetep seru dan menghibur. Dan ending-nya, pemirsa... ENDING-NYAAA.

Saya berusaha keras nahan air mata yang udah meleleh di penghujung film. Saya tahu, Hiccup dan Toothless, nggak akan berpisah di situ aja. Seperti Stoick berkisah pada Hiccup dulu, Hiccup juga mengakhiri film dengan berkisah tentang naga. Saya lupa kata-kata Hiccup persisnya, tapi intinya, “The world doesn’t deserve dragons... yet.”

Me, when Hiccup said that:


Dan menurut kisah Hiccup, para naga menunggu di Hidden World sampai dunia siap dengan keberadaan mereka, bukannya malah memburu dan memperebutkan mereka. Beberapa tahun kemudian, Hiccup dan Astrid yang sudah menikah dan punya dua anak berlayar ke ujung dunia. Dan bisa ditebak, mereka bertemu lagi Toothless, Light Furry, dan tiga anak mereka (yang item mirip paus Orca gak sih, dengan sedikit warna putih gitu??). Walaupun sudah berpisah jalan, sepertinya Hiccup tetap melakukan maintenance untuk sirip ekornya Toothless. Sementara Toothles, sang Alpha, menjaga Hidden World agar tetap tersembunyi dari ancaman luar, kayak Wakanda.


Captain America?
Hiccup membuktikan bahwa sayang nggak harus saling memiliki. Hiccup bisa berbesar hati untuk melepas Toothless dan rela berpisah dengan naga kesayangannya itu demi keselamatan dan kebahagian Toothless. It’s the perfect ending for the trilogy. Bagi saya, akhir kisah yang bittersweet ini malah membuat triloginya makin berkesan. Dan sejauh ini, How to Train Your Dragon adalah film animasi DreamWorks favorit saya. Kalau kangen, kayaknya saya bisa nonton banyak companion series-nya yang belum sempat saya lirik sebelumnya. Goodbye for now, Toothles, Hiccup, and Berk.





It’s you and me bud. Always.



Foto dari: Junior.de, HowtoTrainYourDragon.com, Pinterest.

December 31, 2018

So long, 2018.


Here we are again, friends. Another year, another chance to grow. Hopefully. I have a lot of up and down, happy and sad moments, as we all do. I failed yet another challenge to read 15 books (managed to finish reading 12, ugh so close!!), but that’s okay. I made new friends, discover new favorite band and lyricist (ahem .Feast and @wordfangs), get heartbroken over some real and also fictional persons, and learned a few things.

So, I made this video of clips from 2018. I forgot how to use Adobe Premiere Pro, so thanks tutorial videos on YouTube for helping me out hahaha. It’s not much, but I like to keep a little ‘souvenir’ like this. I should probably do this more often than just keep those clips on my laptop for nothing. Hmmm.


Looking forward to what 2019 will take us, but maybe not that ready for April. ‘Cause, you know… Avengers: Endgame and season finale of Game of Thrones


December 14, 2018

Review Asal: The Girl in the Spider’s Web


Hey, hey... Sebelum ngomongin filmnya, mau update dikit aaah. Beberapa waktu lalu saya sempat mindahin blog ke Wordpress karena ngerasa udah bosen banget sama Blogspot. Tapi begitu dipindahin, coding-nya berantakan. Yakali dibenerin satu per satu. Sempet mau bikin blog baru aja, tapi kok sayang ya tulisan di sini udah lumayan banyak. Akhirnya balik lagi ke sini deh deh. Sementara cukuplah ganti URL dan font aja. Oh! Sekalian ganti nama fitur (halah) review ini karena mirip sama review Kak Teppy yang sudah terkenal seantero nusantara itu. Saya yang telat baca blognya dia sih, baru baca waktu review Eiffel... I'm In Love 2.

Sebenernya kelamaan bikin review nih film, sampai keburu turun layar deh. Eh tapi nggak apa-apa sih, soalnya saya juga nggak rekomendasi untuk nonton. Terutama kalau kamu suka banget trilogi sebelumnya. Ehe. Langsung aja deh kita bahas. Embel-embel “Padahal kalau di bukunya…” akan saya tempatkan di bagian akhir. Ini udah berusaha supaya postingannya nggak sepanjang ini tapi nggak bisa. Saya juga bikin review Fantastic Beasts: The Crimes of Grindelwald di MeraMuda.com. Cekidot, gengs. Sekalian nonton videonya yah. Ehehehe. #shameless

🚨 SPOILERS 🚨

Seputar Filmnya yang di-reboot
Saya pertama baca The Girl with the Dragon Tattoo itu waktu kuliah, minjem buku punya teman. Terus lanjut deh baca sekuelnya, hasil berburu kalau ada bazar buku di Istora dulu. Hahaha. Di negara asalnya, Swedia, trilogi aslinya yang sering disebut Millennium Trilogy sudah diadaptasi dan cukup sukses secara komersil, maupun secara kualitas. Hollywood pun nggak mau ketinggalan. Menurut saya David Fincher sukses mengadaptasi The Girl with the Dragon Tattoo. Sayangnya, walaupun bagus banget secara kualitas dan berhasil meraih pendapatan sekitar $230 juta, filmnya dianggap kurang sukses. Sempat berhembus beberapa rumor kalau sekuelnya akan digarap. Rooney Mara juga udah bilang siap kembali memerankan karakter ini. Tapiii… lama-lama nggak jelas dan jadwalnya David Fincher udah keisi slot film lain (waktu itu dia bersiap nyutradarain Gone Girl), dan sekuel ini makin luntang-lantung.

Tiba-tiba suatu hari saya baca headline bahwa sekuelnya akan berlanjut, tapi dengan pemeran baru. Yah… Terus denger kabar lagi kalau yang diadaptasi adalah Spider’s Web dan Alicia Vikander sempat digadang menjadi Lisbeth. Moon maap nih, tapi menurut saya Mbak Alicia kagak ada pantes-pantesnya dah jadi Lisbeth. Untung nggak jadi. Anywhooo~ Akhirnya Claire Foy resmi diumumkan sebagai pemeran Lisbeth dan filmnya pun syuting. Sejujurnya sejak dengar kabar ini saya udah nggak yakin. Tapi, saya tahu pada akhirnya saya akan tetap nonton di bioskop. Because I love these characters so much.



Cek malam-malam, jadwal untuk besoknya masih ada. Pas cek di hari H udah nggak ada. Hhhh untung di selain 21 di mall seberang ada Cinemaxx dan kebetulan masih tayang di sana. Langsung deh beli 1 tiket. Iyeee, nontonnya sendiri. Pertama, karena nggak mau ribet janjian dan udah lama juga nggak nonton sendiri. Kedua, rada males jelasinnya kalau ngajak temen. Dan takut filmnya nggak sesuai ekspektasi juga…

Di film ini Lisbeth Salander harus berurusan sama kepolisian karena jadi tersangka pembunuhan Frans Balder sekaligus dikejar Ed Needham dari NSA karena udah meretas sistem mereka. Lisbeth pun harus minta tolong ke Blomkvist yang udah lama banget dia cuekin. Harus berurusan kembali dengan kembarannya, Camilla, Lisbeth berhasil mengakali agen NSA yang mengejarnya untuk akhirnya bantuin dia. Terlepas dari source material-nya, film ini lumayan enjoyable. Terutama kalau kalian suka film laga dan thriller yah. Kalaupun bisa nebak, kalian tetap terbawa suasana tegang yang dibangun. Oh iya, film ini disutradarai Fede Alvarez yang sebelumnya bikin Evil Dead (belom nonton) dan Don't Breathe (suka!). Cek dulu trailer-nya deh.



Adaptasi dari Bukunya
Udah mah yang nulis bukunya bukan penulis aslinya, adaptasinya juga beda banget sama bukunya. Mungkin untuk memangkas budget dan durasi filmnya. Apa aja bedanya? B a n y a k. 😊


Let me get my list.

Lisbeth sebenarnya bukan tersangka pembunuhan Frans Balder dan dia nggak ada di TKP waktu Frans tewas. Memang dia jadi tersangka penculikan, padahal waktu itu lagi mau menyelamatkan August. August Balder menderita autisme dan sebenarnya cuma bisa ngomong beberapa kata. Tapi dia punya kemampuan menggambar dan matematika yang luar biasa. Jadi, August itu savant. Orang-orang yang punya savant syndrome biasanya menderita neurodevelopmental disorder seperti autisme atau cedera otak, tapi punya kemampuan yang di atas rata-rata di suatu bidang. Sindrom ini langka banget, cuma 1 dibanding 1 juta. Bahasa Indonesianya savant apa yah? Kalau kata Google Translate sih orang terpelajar. Hahaha. Di buku Frans akhirnya ngeh kalau anaknya bisa menggambar dengan sangat akurat. Bahkan gambarnya beberapa kali dideskripsikan seakan punya ‘mathematical precision,’ kayak diperhitungkan banget bentuk dan bayangannya sampai gambarnya jadi realistis. August berhasil menggambar pembunuh ayahnya dan dengan begitu jadi saksi kunci. Masalahnya, kosakatanya terbatas banget. Nggak bisa juga dong dipaksa harus gambar. Lisbeth harus sabar banget nunggu August sampai dia mau gambar dan akhirnya August membantu Lisbeth membuka program yang dibuat Frans Balder, yang sebenarnya tentang AI (artificial intelligence). Waktu baca saya pikir juga bakalan susah nih adaptasi kemampuannya August ke film, tapi nggak nyangka bakalan jadi biasa banget gitu juga sih…

Ed Neeham pun! Oke, secara fisik saya lupa deskripsi karakternya gimana. Tapi saya ngebayangin penampilannya bakalan kayak Plague, versi yang lebih garang. Soalnya atasannya di NSA aja dibentak. Dia juga nggak semudah itu menemukan Salander. Dia butuh bantuan dari beberapa orang untuk akhirnya tahu bahwa Lisbeth alias Wasp yang udah meretas sistem mereka. Dan walaupun KZL, Ed juga kagum kalau Lisbeth bisa melakukan itu, dan juga karena dia juga mendapatkan data soal kebusukan NSA. Terlalu rumit emang, tapi saya tetep ngerasa bagian waktu Ed menemukan Lisbeth tuh terlalu mudah. Sementara Gabriella Grane… Filmnya kayak males nyari cast untuk memerankan Bublanski, Modig, dan tim kepolisian yang udah ada sejak awal novelnya. Jadi, mereka mengganti sosok otoritas dari Sapo itu dengan sosok Grane yang emang ada juga di bukunya.

Hubungan Lisbeth dan Camilla (dan keluarga Salander yang disfungsional ini) memang belum banyak diceritakan di trilogi aslinya. Hubungan mereka jauh lebih rumit dari itu dan kayaknya di film. And then there’s Blomkvist… yang sungguh TIDAK BERGUNA DI FILM INI. Hah. Ya sudah, lanjut aja ke poin berikutnya.

Kenapa Saya Nggak Suka Adaptasi Ini
Oke, iya, saya mungkin sedikit bias karena menurut saya Rooney Mara adalah Lisbeth Salander terbaik. Perbedaan adaptasi dari buku ke film pasti ada, karena pastinya harus mikirin budget dan durasi. Kalau masih nyambung sih nggak masalah. Yang saya nggak suka adalah, film ini terasa seperti mengkhianati karakter-karakternya. Terutama Lisbeth Salander. Seperti kata review di The Jakarta Post, “Foy is a fine Salander, but hers feels robbed of an identity.” Dan saya setuju banget. Oh, boy… harus dimulai dari mana yah.



Kenapa Salander jadi seperti dirinya sekarang ya karena segala kejadian buruk di masa lalunya. Punya ayah brengsek yang abusive ke ibunya, saudara kembar yang manipulatif dan tetap aja membela ayahnya walaupun tahu perlakukan sang ayah ke ibu mereka. Lisbeth dan Camilla saling benci. Bahkan Lisbeth mencoba membunuh ayahnya demi menyelamatkan ibunya. Tapi dia malah dimasukkan ke rumah sakit jiwa untuk anak-anak sementara ibunya nggak pernah pulih lagi dari cedera otaknya. Di sana (dan di beberapa momen lainya), Lisbeth dilakukan semena-mena karena dianggap lemah. Tapi dia membuktikan kalau dia bisa melawan, sampai akhirnya identitas dan tindak kriminal ayahnya dan orang yang udah memperlakukannya dengan buruk terbongkar. Dan walaupun penuh dengan amarah dan keinginan untuk balas dendam, Lisbeth selalu memperhitungkan langkah dan resiko dari tindakannya.

Sementara di film, jalan cerita sang ibu, Agneta, digabungkan ke karakter Camilla. Camilla yang jadi korban kekerasan dari ayahnya, tapi dia juga yang meneruskan aktivitas kriminal Zala. Lisbeth kecil di film ini dikisahkan dekat dengan Camilla layaknya anak kembar pada umumnya. Lantas, seperti yang Camilla bilang, kenapa Lisbeth nggak mencoba menyelamatkan Camilla? Dengan menghilangkan kisah sang ibu dan hubungan rumit antara Lisbeth dan Camilla, ada bongkahan besar cerita yang hilang di sini. Terus gimana ceritanya Lisbeth kecil yang loncat dari rumah mereka bisa selamat? Kalau menurut cerita ini, dari mana dia belajar komputer dan hacking? Terus siapa pula wanita yang diselamatkan Lisbeth di awal film? Waktu liat trailer saya pikir itu Hanna Balder dan saya tersenyum karena setidaknya bagian itu sesuai. Ternyata bukan. Memang Lisbeth tuh termasuk vigilante yah, tapi dia juga bukan tipe yang mencoba menyelamatkan semua orang. Yang dia selamatkan pasti masih ada hubungannya dengan masa lalunya atau dengan kasus yang lagi dia selidiki. Karena balik lagi ke poin sebelumnya, Lisbeth tuh memperhitungkan banget tindakan dan resiko dari tindakannya.



Dan Blomkvist… Duh, sedih sih. Pas baca novel lanjutannya masih ngebayangin Daniel Craig yang jadi Blomkvist. Terus di sini Blomkvist-nya gabut banget woy. :) Seriously, he was just worrying about stuffs. Tulisan Blomkvist yang dibantu investigasinya oleh Salander atau yang ada hubungannya dengan Salander (waktu terbongkar soal identitasnya Zala) emang bisa dibilang beberapa dari tulisannya Blomkvist yang paling bagus. Tapi di film ini Blomkvist nggak ada taringnya sama sekali. Padahal dia ini ceritanya salah satu jurnalis paling hebat di Swedia loh. Kecemburuan Erika Berger terhadap Salander juga agak kurang pas. Dia sebenarnya cuma nggak mau Blomkvist melakukan sesuatu yang ilegal demi saling bantu dengan Salander. Malah, dia juga bantu mencarikan safe house untuk Salander dan August.

In short, I hate that this movie oversimplified Salander’s history, so much that it feels like a betrayal to her character.

Buku Selanjutnya
Almarhum Stieg Larsson, penulis aslinya, sebenarnya berencana membuat lebih dari tiga buku. Sayang, umurnya nggak panjang. Larsson meninggal dunia tanpa pernah menikmati kesuksesan novelnya yang rilis setelah dia tiada. Hak propertinya pun sempat diperebutkan di antara ayah dan kakak Larsson, dengan kekasihnya yang juga merasa berhak. Trilogi aslinya yang ditulis Larson disebut juga Millennium Trilogy udah diadaptasi di negara asalnya. Di versi Swedia itu, Noomi Rapace didaulat menjadi Lisbeth, sementara karakter Blomkvist diperankan oleh Michael Nyqvist. Mungkin, Lagercrantz punya materi yang rencananya akan digunakan Larson di buku selanjutnya untuk menjelaskan masa lalu Salander. Di buku selanjutnya, The Girl Who Takes An Eye for An Eye, kisah utamanya berputar di pasangan anak kembar yang sengaja dipisahkan untuk jadi bahan eksperimen. Lisbeth lagi-lagi harus menyelam ke masa lalunya.

Setelah nonton film ini saya harus nonton video behind the scene film versi Fincher saking sebelnya, sambil berharap Hollywood nggak usah repot-repot bikin sekuel dari adaptasi ini.



Saya sudahi sampai di sini marah-marahnya. Sampai bertemu di postingan berikutnya!

August 30, 2018

Misteri 600 Ribu di Bandung

Found these on the way out Jalan-jalan sama teman tuh emang friendship goals banget yah. Kayaknya persahabatan belum lengkap kalau belum pernah jalan bareng. Haha. Begitu juga dengan saya dan teman-teman saya sejak SMP ini; Dini, Fany, Egi, dan Eky. Berhubung Dini udah kewong, jadi suaminya, Ricky, juga ikut trip ini. Udah wacana sejak kapan tau, akhirnya berpuluh purnama kemudian baru deh kesampaian. Takut cuma jadi wacana lagi, kami langsung gercep bikin rencana di long weekend tanggal 14 April lalu. Iya, ini jalan-jalannya dari April lalu baru sempet dibikin postingannya sekarang. Long weekend rasa weekend biasa sih, wong tanggal merahnya hari Sabtu. Sebenernya Dini dan Ricky punya mobil, tapi berhubung cuma cukup untuk 4 orang sementara kami berenam, jadilah kami memutuskan untuk sewa mobil dan berangkat deh jalan-jalan ke Bandung… 

Nggak ada tujuan khusus yang mau didatangi, tapi saya dan Dini teteup bikin itinerary ala-ala demi perjalanan yang terorganisir. Kurang lebih kayak jadwal jalan-jalan pada umumnya. Berangkat tengah malam, sampai Bandung pagi, langsung lanjut ke tempat wisata. Masalah pertama muncul karena ternyata Eky nggak berhasil mendapat mobil matic untuk disewa. Jadi berangkat deh tuh dengan mobil manual yang kabarnya lebih menguras tenaga untuk dikendalikan. Selain Eky, Ricky bisa nyetir, tapi cuma bisa mobil matic. Dini juga. Walhasil, sepanjang perjalanan kemarin Eky jadi supir full-time. Waktu Subuh udah hampir sampai Bandung dan lagi berhenti di rest area, Eky sempet cuci muka pakai minyak kayu putih. Saya sih nggak lihat, tidur di belakang. HAHAHAHA.

Where to?Crowd Wisata selfie Blow it  
Kami sarapan pagi di tempat rekomendasi Egi, di Jalan Gempol. Ada kupat tahu, lontong sayur, dan beberapa menu lainnya. Sekilas, saya ingat waktu sarapan di Belitong. Tempatnya sederhana banget, tapi udah terkenal. Beberapa orang yang habis olahraga pagi gantian memenuhi tempat makan itu. Kita pun melipir ke taman kecil di dekat situ. Selain nunggu makanan ‘turun’, juga supaya Eky bisa tiduran bentar. Setelah itu kami memutuskan untuk lanjut ke The Lodge. I thought there’s more to this place than just pretty place with props for selfies and photos. Ternyata enggak. Selain membayar tiket masuk, kamu harus bayar di tiap ‘wahana’ selfie. Antriannya juga malesin. Bukan jenis tempat wisata favorit saya sih, tapi ya sudah, cukup tahu aja. Hehe. Kami akhirnya malah curi-curi kesempatan foto bareng di bean bags ini, gantian minta foto sama rombongan lain.

Group photo

Setelah itu kami lanjut makan siang ke Orofi Cafe di Lembah Pakar. Sampai sana udah hampir jam 3 deh kayaknya. Sempat deg-degan tempatnya tutup, ternyata emang di lantai 2 dan saat itu sepi. Sambil nunggu pesanan makanan datang, kami foto-foto di sekeliling kafe karena emang gemas dekorasinya. Muka lecek, badan lengket, tetep lanjut foto-foto. Mungkin malah lebih gemas lagi ke kafe ini pas makan malam karena pemandangan lembah di seberang.

Orofi, Bandung.Second floor of Orofi Nice wall Make my friends pose as the foreground haha My best friend and her husband Best Bitches Super late lunch All the pink HAHAHAHA  
Setelah kenyang, kami pun udah nggak sabar untuk segera sampai ke penginapan. Pengen mandi! FYI, sebagai anak millenial, tentunya kami cari tahu soal penginapan serba lewat internet. Dengan harga segitu dan kalau dari penampilannya di foto sih lumayan banget, makanya kami memberanikan diri untuk booking. Tertera kalau yang kami sewa itu apartemen. Ternyata begitu sampai di lokasi sekitar pukul 5… yaelah ini mah rumah susun, wey! Begitu ketemu dengan pihak yang menyewakan, kami diberi pilihan, mau kamar di lantai 6 atau 11 dan disuruh lihat dulu sebelum memilih. Lah kok belum fix gini? Tapi kami nurut. Sesampainya di kamar di lantai 6, kami yang udah capek memutuskan untuk ambil kamar yang ini aja. Apalagi katanya yang di lantai 11 kamarnya lebih kecil lagi, padahal ini aja udah imut-imut banget. :’) 

Nah, entah karena mereka pikir kami baru sampai malam atau bakal milih kamar di lantai 11, kamar itu pun belum bersih sepenuhnya. Sambil kami beberes, petugasnya sibuk bebersih dan bawain bantal dan kasur. Setelah beres, baru deh kami gantian mandi. Sambil nunggu giliran mandi, kami duduk di ruang tengah yang seadanya sambil nonton TV di atas kasur tipis yang baru dibawakan. Saya pengen banget kopi kemasan, pokoknya kopi deh. Jadi, sambil nunggu kamar mandi kosong, saya pun berinisiatif ke Alfamart di lantai dasar untuk sekalian beli cemilan. Egi ikut karena kami lagi sama-sama nunggu antrian kamar mandi. Waktu nunggu lift ke bawah, Egi berkata, “Di, di kamar kita ada penunggunya. Lumayan serem sih, cuma sampai dada gitu, terus berdarah-darah.”  

Gini ya, sodara-sodara sekalian… Di lantai itu suasananya lumayan anyep dan lorongnya remang-remang. Egi ngomong begitu dengan tampang santai tapi serius. Ya terus saya harus ngomong apaaa? Lagi speechless gitu, Egi dengan nggak kalah santainya lanjut ngomong, “Ya lo nggak usah takut gitu, biasa aja. Kan kita rame-rame…”

Baique. Kaget sebentar, lalu lanjuttt~ 

Lift datang dan kami ke Alfamart beli beberapa cemilan. Sampai di atas, saya malah udah lupa yang Egi bilang tadi. Hmmm mungkin karena kami terlalu riweuh mencoba buka pintu yang canggih pakai passcode. Cuma beberapa kamar aja yang pintunya kayak gini. Saya ngerasa spesial. Hahaha. Pas banget kamar mandi udah kosong nih. Saya mandi, sekalian wudhu karena udah hampir Maghrib. Saya inget banget, setelah mandi dan simpan barang di kamar, saya ke balkon kecil untuk jemur handuk karena di situ emang ada jemuran kecil. Di ruang tengah nan imut, Dini dan Ricky duduk sambil nonton TV. Karena emang tempatnya imut banget, kami harus solat di lorong menuju kamar, karena nggak ada tempat lain lagi yang muat. Sesempit itu. Untung kami segeng singset-singset seperti yang bisa dilihat di foto. 

Sajadah masih digelar karena Egi habis solat Ashar tadi. Karena nggak mungkin jamaah, saya pun mengambil giliran solat Maghrib duluan. Tempat solat sedikit terhalang tembok kamar. Apalagi Dini dan Ricky lagi menghadap ke arah TV yang ada di arah sebaliknya dari kiblat. Yaudah, anggap aja deskripsi saya cukup jelas yah. Hahaha. 

Rakaat pertama menjelang rakaat kedua, terdengar suara Dini di sofa dengan suara yang lebih manja dari biasanya. “Ermmmhhh (kayak ngeluh gitu)… Panaaas…” Dini sama Ricky nih kalaupun PDA di depan kita, nggak biasanya Dini pakai suara manja jijay kayak gitu. Ricky bingung. “Hah? Panas? Dingin ah. Ini kan AC-nya udah nyala.” Di atas pintu balkon itu ada AC. Waktu kita masuk emang baru dinyalain kan AC-nya. Berhubung udah sekitar 1 jam kami ada di situ, ruangan udah mulai terasa dingin. Dini lanjut mengeluh kepanasan dengan suara manja, makin lama kayak mau nangis, sementara Ricky kebingungan. Di sini saya sudah memasuki rakaat 2 ya, sodara-sodara. 

Dini: “Panaaas…” 
Ricky: “Panas gimana sih, Sayang? Ini udah nyala tuh AC-nya. Dingin.” 
Dini: “Nggak tau pokoknya ini panaaas…” 
Ricky: “Apanyaaa??!” 
Dini: “Semuanyaaa panaaas…” 
Kedengeran dia seperti lagi garuk-garuk badan. Terus Dini beneran nangis, masih sambil bilang kepanasan. Lalu di sela isak tangisnya, Din berkata dengan nada jengkel… 
“Itu siapa sih yang lagi solat? Panas tau.” 

Itu kayaknya saya lagi baca surat pendek di rakaat 2 deh. Udah nggak karuan deh ya, walaupun saya tetap mencoba menyelesaikan solat. Heuheu… Rasanya kayak dipanggil “WOY, SINI LO!” sama senior galak, tapi kali ini yang manggil makhluk astral. Saya udah tahu kayaknya ada yang nggak beres waktu Dini mulai nangis. Makin yakin lagi setelah diberi shoutout kayak gitu. Ngeri ngebayangin tau-tau mukena saya ditarik dari belakang atau saya ditampar atau gimana lah. Dramatis memang. Tapi ya mana tahu kan, namanya juga dia lagi keki… :’) Setelah salam, saya langsung ngelirik ke Egi di belakang saya. Dia udah komat-komat, terus mengangguk penuh arti ke saya, dan nyuruh saya lanjut aja baca doa. Egi sempat menelepon temannya, lalu menghampiri Dini lagi. Setelah lipat mukena dan sejadah, saya ikutan mendekati Dini. Dalam hati baca-bacaan terus saya pegang jempol kakinya. Waktu SMA kan temen-temen pernah kesurupan juga tuh, terus saya lihat guru saya baca-bacain sambil pencet-pencet jempol kakinya. Inisiatip aja. Egi juga kayaknya mijat kepalanya Dini deh, saya lupa, lebih konsen baca-bacaan di dalam hati sambil masih mijet jempol kakinya Dini. Terus Egi bilang, “Di, jempol tangannya.” Hooo bukan kaki toh. Oke, saya mah nurut aja. Kayaknya jempol kanan atau kiri gitu, pokoknya cuma di satu tangan. 

Singkat cerita, Egi berhasil ‘ngeluarin’ si penunggu dari tubuhnya Dini. Udah kayak di TV lah pokoknya. Saya nggak ngerti gimana prosedurnya, pokoknya berhasil keluar. Saya nggak merhatiin, tapi Egi bilang waktu lagi mau dikeluarin, Dini sempet melototin dia. Antara percaya dan nggak percaya sih ya sama kejadian kayak gini. Tapi berasa loh bedanya. Waktu belum keluar, kita di sekeliling Dini tuh manggil-manggil namanya dan dia nggak ngerespon sama sekali. “Din, sadar Din, istighfar…” berulang-ulang kita ngomong gitu dan dicuekin. Pas akhirnya keluar, dia kayak orang habis renang dan akhirnya muncul ke permukaan, langsung narik napas dan istighfar, terus ngeliat sekeliling dengan muka shock. Ampun deh. Selama perjalanan ke Bandung, kami cerita horor hampir sepanjang jalan. Sampai di Bandung, eh dapat cerita horor baru. 

Menurut Dini, setelah saya jemur handuk di balkon, dia melihat si penunggu seperti kurang suka, menghempaskan handuk saya dari jemuran, dan tahu-tahu Dini melihatnya tepat di depan wajahnya. Itu hal terakhir yang dia ingat sebelum kesurupan. Dan deskripsi Dini tentang si penunggu sama persis seperti apa yang dibilang Egi ke saya sebelumnya. Selanjutnya kami pun heboh membahas… handuk. Heboh tapi pelan gitu suara ngomongnya, soalnya masih agak shock. Kami melongok ke balkon dan handuk saya beneran nggak ada di jemuran, ternyata jatuh ke lantai balkon. Entahlah. Yang pasti kami jadi introspeksi kenapa si penunggu nggak senang. 

Shades of green

“Kayaknya tadi pas masuk kita lupa baca salam deh.” Saya lupa siapa yang ngomong, tapi setelah mengingat-ingat, ada benarnya juga sih. Saking capeknya, pas buka pintu malah ngomong, “Yaudah di sini aja deh.” Egi bilang dia nggak bisa ngusir si penunggu karena emang kamar itu rumahnya. Tapi dia yakin si penunggu nggak akan mengganggu kami lagi. Malamnya kami lanjut cari makan ke jalan Braga. Di jalan, Fany berkali-kali ngingetin Dini, “Din, jangan bengong, Din,” saking takutnya Dini kesurupan lagi. Sampai Dini dan bahkan kita semua agak jengkel karena dia ngomong gitu terus. 
Malamnya, Dini dan Ricky tidur di depan TV. Saya dan Fany di kamar dekat kamar mandi. Sementara Egi dan Eky di tempat tidur tingkat di kamar satunya lagi, yang deket banget dari kamar kami. Fany minta pintu kamar nggak usah ditutup aja. Sebelum tidur dia juga bilang, “Nanti kalau malam gue mau ke kamar mandi, temenin ya, Di.” Saya mengiyakan. Anak malang ini belum tahu kalau udah tidur saya susah banget dibangunin. Lagian juga kamar mandinya tuh cuma beberapa langkah dari kamar kami. 

Berhubung saya tidurnya nyenyaaak banget, paginya saya kenal omel dari Fany dan cuma bisa denger cerita soal semalam. Dia protes karena waktu bangunin saya, saya melek dan mengangguk, terus tidur lagi. Padahal saya nggak inget tuh. Fany juga cerita kalau semalam dia susah banget tidur karena mendengar suara anak kecil ketawa-ketawa dan saking takutnya, tidur sambil meluk saya. Itu juga nggak nyaman karena rupanya waktu dia meluk saya pas mau tidur, sayanya garuk-garuk. Ya maap deh ya, namanya juga nggak sadar… 

Malam itu juga ternyata ada ‘kejadian’ lagi. Tengah malam, Egi teriak-teriak dalam tidurnya manggil-manggil Eky dengan heboh, “EKY! EKY!” Eky pun menghampiri dengan panik, takut Egi kenapa-napa. Setelah ditanya, Egi cuma menjawab, “Enam ratus ribu, Ky! Enam ratus ribu!” Eky yang kebingungan pun cuma mengiyakan dan nggak lama Egi tidur pulas lagi. 

Di perjalanan pulang, kami nanya kira-kira Egi lagi mimpi apa sampai teriak-teriak malam itu. Dan Egi pun melongo, nggak inget kalau dia mengigau aneh kayak gitu. Jadi, soal 600 ribu itu tetap menjadi misteri. Nggak usah dipikirin, gaes. Oh ya, kami pun nggak lupa ngeledekin Eky yang waktu kejadian Dini kesurupan cuma bengong, antara bingung dan takut. Yah, saya juga bingung dan takut sih, cuma nggak bener-bener diem aja gitu. Setelah ditanya rupanya awalnya Eky merasa Dini cuma bercanda. Terus dia bingung juga harus bantu apa. Hahahaha. 

Saya juga jadi sasaran bahan ledekan gara-gara asal mesan ikan bawal waktu makan siang di restoran Sunda dekat pusat kota. Soalnya kan prasmanan tuh, jadi saya asal tunjuk aja. Rupanya, ikan bawal yang saya tunjuk jenisnya bawal laut dan harganya itu Rp72.000. Habis sudah saya diledekin. “HAHAHAHA ikan bawal lo tuh lebih mahal dari makan siang gue!” Sial. Nah, jadi kalau makan prasmanan dan nggak ada harganya, jangan ragu untuk nanya harganya dulu yah, teman-teman. Belajarlah dari pengalaman saya. Hahaha.

YummmChoose your weapon Sambals for lyfe Best bitches and makanan Sunda forever! Seru sih, tapi semoga kalau nanti kami liburan bareng lagi nggak ada kejadian horor macam gini lagi ya… 

More photos on my Flickr!

Read the Printed Word!