December 14, 2018

Review Asal: The Girl in the Spider’s Web


Hey, hey... Sebelum ngomongin filmnya, mau update dikit aaah. Beberapa waktu lalu saya sempat mindahin blog ke Wordpress karena ngerasa udah bosen banget sama Blogspot. Tapi begitu dipindahin, coding-nya berantakan. Yakali dibenerin satu per satu. Sempet mau bikin blog baru aja, tapi kok sayang ya tulisan di sini udah lumayan banyak. Akhirnya balik lagi ke sini deh deh. Sementara cukuplah ganti URL dan font aja. Oh! Sekalian ganti nama fitur (halah) review ini karena mirip sama review Kak Teppy yang sudah terkenal seantero nusantara itu. Saya yang telat baca blognya dia sih, baru baca waktu review Eiffel... I'm In Love 2.

Sebenernya kelamaan bikin review nih film, sampai keburu turun layar deh. Eh tapi nggak apa-apa sih, soalnya saya juga nggak rekomendasi untuk nonton. Terutama kalau kamu suka banget trilogi sebelumnya. Ehe. Langsung aja deh kita bahas. Embel-embel “Padahal kalau di bukunya…” akan saya tempatkan di bagian akhir. Ini udah berusaha supaya postingannya nggak sepanjang ini tapi nggak bisa. Saya juga bikin review Fantastic Beasts: The Crimes of Grindelwald di MeraMuda.com. Cekidot, gengs. Sekalian nonton videonya yah. Ehehehe. #shameless

🚨 SPOILERS 🚨

Seputar Filmnya yang di-reboot
Saya pertama baca The Girl with the Dragon Tattoo itu waktu kuliah, minjem buku punya teman. Terus lanjut deh baca sekuelnya, hasil berburu kalau ada bazar buku di Istora dulu. Hahaha. Di negara asalnya, Swedia, trilogi aslinya yang sering disebut Millennium Trilogy sudah diadaptasi dan cukup sukses secara komersil, maupun secara kualitas. Hollywood pun nggak mau ketinggalan. Menurut saya David Fincher sukses mengadaptasi The Girl with the Dragon Tattoo. Sayangnya, walaupun bagus banget secara kualitas dan berhasil meraih pendapatan sekitar $230 juta, filmnya dianggap kurang sukses. Sempat berhembus beberapa rumor kalau sekuelnya akan digarap. Rooney Mara juga udah bilang siap kembali memerankan karakter ini. Tapiii… lama-lama nggak jelas dan jadwalnya David Fincher udah keisi slot film lain (waktu itu dia bersiap nyutradarain Gone Girl), dan sekuel ini makin luntang-lantung.

Tiba-tiba suatu hari saya baca headline bahwa sekuelnya akan berlanjut, tapi dengan pemeran baru. Yah… Terus denger kabar lagi kalau yang diadaptasi adalah Spider’s Web dan Alicia Vikander sempat digadang menjadi Lisbeth. Moon maap nih, tapi menurut saya Mbak Alicia kagak ada pantes-pantesnya dah jadi Lisbeth. Untung nggak jadi. Anywhooo~ Akhirnya Claire Foy resmi diumumkan sebagai pemeran Lisbeth dan filmnya pun syuting. Sejujurnya sejak dengar kabar ini saya udah nggak yakin. Tapi, saya tahu pada akhirnya saya akan tetap nonton di bioskop. Because I love these characters so much.



Cek malam-malam, jadwal untuk besoknya masih ada. Pas cek di hari H udah nggak ada. Hhhh untung di selain 21 di mall seberang ada Cinemaxx dan kebetulan masih tayang di sana. Langsung deh beli 1 tiket. Iyeee, nontonnya sendiri. Pertama, karena nggak mau ribet janjian dan udah lama juga nggak nonton sendiri. Kedua, rada males jelasinnya kalau ngajak temen. Dan takut filmnya nggak sesuai ekspektasi juga…

Di film ini Lisbeth Salander harus berurusan sama kepolisian karena jadi tersangka pembunuhan Frans Balder sekaligus dikejar Ed Needham dari NSA karena udah meretas sistem mereka. Lisbeth pun harus minta tolong ke Blomkvist yang udah lama banget dia cuekin. Harus berurusan kembali dengan kembarannya, Camilla, Lisbeth berhasil mengakali agen NSA yang mengejarnya untuk akhirnya bantuin dia. Terlepas dari source material-nya, film ini lumayan enjoyable. Terutama kalau kalian suka film laga dan thriller yah. Kalaupun bisa nebak, kalian tetap terbawa suasana tegang yang dibangun. Oh iya, film ini disutradarai Fede Alvarez yang sebelumnya bikin Evil Dead (belom nonton) dan Don't Breathe (suka!). Cek dulu trailer-nya deh.



Adaptasi dari Bukunya
Udah mah yang nulis bukunya bukan penulis aslinya, adaptasinya juga beda banget sama bukunya. Mungkin untuk memangkas budget dan durasi filmnya. Apa aja bedanya? B a n y a k. 😊


Let me get my list.

Lisbeth sebenarnya bukan tersangka pembunuhan Frans Balder dan dia nggak ada di TKP waktu Frans tewas. Memang dia jadi tersangka penculikan, padahal waktu itu lagi mau menyelamatkan August. August Balder menderita autisme dan sebenarnya cuma bisa ngomong beberapa kata. Tapi dia punya kemampuan menggambar dan matematika yang luar biasa. Jadi, August itu savant. Orang-orang yang punya savant syndrome biasanya menderita neurodevelopmental disorder seperti autisme atau cedera otak, tapi punya kemampuan yang di atas rata-rata di suatu bidang. Sindrom ini langka banget, cuma 1 dibanding 1 juta. Bahasa Indonesianya savant apa yah? Kalau kata Google Translate sih orang terpelajar. Hahaha. Di buku Frans akhirnya ngeh kalau anaknya bisa menggambar dengan sangat akurat. Bahkan gambarnya beberapa kali dideskripsikan seakan punya ‘mathematical precision,’ kayak diperhitungkan banget bentuk dan bayangannya sampai gambarnya jadi realistis. August berhasil menggambar pembunuh ayahnya dan dengan begitu jadi saksi kunci. Masalahnya, kosakatanya terbatas banget. Nggak bisa juga dong dipaksa harus gambar. Lisbeth harus sabar banget nunggu August sampai dia mau gambar dan akhirnya August membantu Lisbeth membuka program yang dibuat Frans Balder, yang sebenarnya tentang AI (artificial intelligence). Waktu baca saya pikir juga bakalan susah nih adaptasi kemampuannya August ke film, tapi nggak nyangka bakalan jadi biasa banget gitu juga sih…

Ed Neeham pun! Oke, secara fisik saya lupa deskripsi karakternya gimana. Tapi saya ngebayangin penampilannya bakalan kayak Plague, versi yang lebih garang. Soalnya atasannya di NSA aja dibentak. Dia juga nggak semudah itu menemukan Salander. Dia butuh bantuan dari beberapa orang untuk akhirnya tahu bahwa Lisbeth alias Wasp yang udah meretas sistem mereka. Dan walaupun KZL, Ed juga kagum kalau Lisbeth bisa melakukan itu, dan juga karena dia juga mendapatkan data soal kebusukan NSA. Terlalu rumit emang, tapi saya tetep ngerasa bagian waktu Ed menemukan Lisbeth tuh terlalu mudah. Sementara Gabriella Grane… Filmnya kayak males nyari cast untuk memerankan Bublanski, Modig, dan tim kepolisian yang udah ada sejak awal novelnya. Jadi, mereka mengganti sosok otoritas dari Sapo itu dengan sosok Grane yang emang ada juga di bukunya.

Hubungan Lisbeth dan Camilla (dan keluarga Salander yang disfungsional ini) memang belum banyak diceritakan di trilogi aslinya. Hubungan mereka jauh lebih rumit dari itu dan kayaknya di film. And then there’s Blomkvist… yang sungguh TIDAK BERGUNA DI FILM INI. Hah. Ya sudah, lanjut aja ke poin berikutnya.

Kenapa Saya Nggak Suka Adaptasi Ini
Oke, iya, saya mungkin sedikit bias karena menurut saya Rooney Mara adalah Lisbeth Salander terbaik. Perbedaan adaptasi dari buku ke film pasti ada, karena pastinya harus mikirin budget dan durasi. Kalau masih nyambung sih nggak masalah. Yang saya nggak suka adalah, film ini terasa seperti mengkhianati karakter-karakternya. Terutama Lisbeth Salander. Seperti kata review di The Jakarta Post, “Foy is a fine Salander, but hers feels robbed of an identity.” Dan saya setuju banget. Oh, boy… harus dimulai dari mana yah.



Kenapa Salander jadi seperti dirinya sekarang ya karena segala kejadian buruk di masa lalunya. Punya ayah brengsek yang abusive ke ibunya, saudara kembar yang manipulatif dan tetap aja membela ayahnya walaupun tahu perlakukan sang ayah ke ibu mereka. Lisbeth dan Camilla saling benci. Bahkan Lisbeth mencoba membunuh ayahnya demi menyelamatkan ibunya. Tapi dia malah dimasukkan ke rumah sakit jiwa untuk anak-anak sementara ibunya nggak pernah pulih lagi dari cedera otaknya. Di sana (dan di beberapa momen lainya), Lisbeth dilakukan semena-mena karena dianggap lemah. Tapi dia membuktikan kalau dia bisa melawan, sampai akhirnya identitas dan tindak kriminal ayahnya dan orang yang udah memperlakukannya dengan buruk terbongkar. Dan walaupun penuh dengan amarah dan keinginan untuk balas dendam, Lisbeth selalu memperhitungkan langkah dan resiko dari tindakannya.

Sementara di film, jalan cerita sang ibu, Agneta, digabungkan ke karakter Camilla. Camilla yang jadi korban kekerasan dari ayahnya, tapi dia juga yang meneruskan aktivitas kriminal Zala. Lisbeth kecil di film ini dikisahkan dekat dengan Camilla layaknya anak kembar pada umumnya. Lantas, seperti yang Camilla bilang, kenapa Lisbeth nggak mencoba menyelamatkan Camilla? Dengan menghilangkan kisah sang ibu dan hubungan rumit antara Lisbeth dan Camilla, ada bongkahan besar cerita yang hilang di sini. Terus gimana ceritanya Lisbeth kecil yang loncat dari rumah mereka bisa selamat? Kalau menurut cerita ini, dari mana dia belajar komputer dan hacking? Terus siapa pula wanita yang diselamatkan Lisbeth di awal film? Waktu liat trailer saya pikir itu Hanna Balder dan saya tersenyum karena setidaknya bagian itu sesuai. Ternyata bukan. Memang Lisbeth tuh termasuk vigilante yah, tapi dia juga bukan tipe yang mencoba menyelamatkan semua orang. Yang dia selamatkan pasti masih ada hubungannya dengan masa lalunya atau dengan kasus yang lagi dia selidiki. Karena balik lagi ke poin sebelumnya, Lisbeth tuh memperhitungkan banget tindakan dan resiko dari tindakannya.



Dan Blomkvist… Duh, sedih sih. Pas baca novel lanjutannya masih ngebayangin Daniel Craig yang jadi Blomkvist. Terus di sini Blomkvist-nya gabut banget woy. :) Seriously, he was just worrying about stuffs. Tulisan Blomkvist yang dibantu investigasinya oleh Salander atau yang ada hubungannya dengan Salander (waktu terbongkar soal identitasnya Zala) emang bisa dibilang beberapa dari tulisannya Blomkvist yang paling bagus. Tapi di film ini Blomkvist nggak ada taringnya sama sekali. Padahal dia ini ceritanya salah satu jurnalis paling hebat di Swedia loh. Kecemburuan Erika Berger terhadap Salander juga agak kurang pas. Dia sebenarnya cuma nggak mau Blomkvist melakukan sesuatu yang ilegal demi saling bantu dengan Salander. Malah, dia juga bantu mencarikan safe house untuk Salander dan August.

In short, I hate that this movie oversimplified Salander’s history, so much that it feels like a betrayal to her character.

Buku Selanjutnya
Almarhum Stieg Larsson, penulis aslinya, sebenarnya berencana membuat lebih dari tiga buku. Sayang, umurnya nggak panjang. Larsson meninggal dunia tanpa pernah menikmati kesuksesan novelnya yang rilis setelah dia tiada. Hak propertinya pun sempat diperebutkan di antara ayah dan kakak Larsson, dengan kekasihnya yang juga merasa berhak. Trilogi aslinya yang ditulis Larson disebut juga Millennium Trilogy udah diadaptasi di negara asalnya. Di versi Swedia itu, Noomi Rapace didaulat menjadi Lisbeth, sementara karakter Blomkvist diperankan oleh Michael Nyqvist. Mungkin, Lagercrantz punya materi yang rencananya akan digunakan Larson di buku selanjutnya untuk menjelaskan masa lalu Salander. Di buku selanjutnya, The Girl Who Takes An Eye for An Eye, kisah utamanya berputar di pasangan anak kembar yang sengaja dipisahkan untuk jadi bahan eksperimen. Lisbeth lagi-lagi harus menyelam ke masa lalunya.

Setelah nonton film ini saya harus nonton video behind the scene film versi Fincher saking sebelnya, sambil berharap Hollywood nggak usah repot-repot bikin sekuel dari adaptasi ini.



Saya sudahi sampai di sini marah-marahnya. Sampai bertemu di postingan berikutnya!

0 comments:

Post a Comment

Read the Printed Word!